JAKARTA, – Ada yang istimewa dari acara Upacara Hari Kemerdekaan RI ke-76 pada tahun ini. Tak seperti biasanya, pembacaan teks Proklamasi dilakukan oleh seorang perempuan. Selama 76 tahun Indonesia merdeka, teks penting ini selalu dibacakan oleh Ketua MPR yang tentu saja selama ini dijabat oleh kaum Adam.
Baru pada 2021, untuk pertama kalinya, perwakilan perempuan Indonesia mendapatkan kepercayaan untuk membacakan teks yang menandai hari Kemerdekaan Indonesia. Ya, pada 17 Agustus 2021, Ketua DPR RI Puan Maharani, mendapat kehormatan membaca teks proklamasi dalam upacara kenegaraan.
Tentu saja, peristiwa tersebut patut untuk masuk dalam catatan sejarah perkembangan peran perempuan dalam politik Tanah Air. Puan berada di posisi yang memungkinkan untuk mewakili pembacaan teks proklamasi karena telah berjuang dalam perpolitikan Indonesia untuk waktu cukup lama hingga mencapai posisi penting.
Dia tidak datang tiba-tiba pada upacara kenegaraan untuk membacakan teks proklamasi. Akan tetapi, dia datang sebagai Ketua DPR yang memiliki wewenang, bukan orang luar. Ini saja sudah menjadi kebanggaan bagi perempuan Indonesia.
Mungkin dulu, R.A. Kartini tak pernah membayangkan bahwa setelah 76 tahun Indonesia merdeka, akan ada seorang perempuan yang membacakan teks penting. Ketika zaman itu, perempuan bisa membaca saja masih sangat langka.
Titik start perempuan memang tak sama. Mereka harus melalui serangkaian perjuangan untuk menunjukkan eksistensinya. Menjadi seorang perempuan dalam sejarah tak mudah. Mendapat panggung untuk berprestasi lebih sulit lagi.
Bahkan hingga hari ini, kesetaraan gender masih menjadi isu di sejumlah negara yang katanya paling demokratis dan maju. Perempuan masih menempati kelas kedua dalam masyarakat.
Pembagian kerja berbasis jenis kelamin (gender based division of labor) telah melandasi terjadinya stratifikasi gender yang membuat perempuan hanya bekerja di sektor domestik sedangkan laki-laki di wilayah publik.
Apalagi, pekerjaan di sektor domestik seringkali dianggap lebih rendah daripada pekerjaan di wilayah publik, di samping juga dianggap sebagai pekerjaan yang tidak bernilai ekonomi (unpaid labor). Peran perempuan kerap dikerdilkan.
–